NOT A GIRL, NOT YET A WOMAN.

Posted by Sarah Audrey Christie , Selasa, Desember 18, 2012 23.43


Frase itu terdengar nyaring di telinga saat usia saya mulai beranjak ke angka dua puluhan. Dan saya yakin, kamu juga pernah mendengarnya. Frase ini diucapkan untuk menggambarkan posisi kita pada tangga kehidupan. Ya, syukurlah, kita sudah berhasil meninggalkan masa remaja yang cukup menguras energi, tetapi sayangnya, kita juga tak bisa dibilang sudah benar-benar dewasa. Dan, berada di 'tengah-tengah' seperti ini selalu menjadi hal yang menyebalkan, bukan. Meskipun, terkadang juga sebuah 'keuntungan' tersendiri.

Saat sebuah masalah terjadi misalnya, kita tak harus menghadapi semuanya sendirian. Setidaknya papa dan mama akan selalu bersama-sama dengan kita, every step of the way. Dan meskipun masalah itu terjadi sebagian karena kesalahan kita, mereka akan berusaha memaklumi. Ya, kita mendapatkan banyak sekali kata 'maklum' pada masa-masa ini. 'Maklum' melindungi kita dari kewajiban untuk bertanggung jawab secara penuh terhadap masalah-masalah yang kita hadapi. Intinya, pada usia-usiamu, kesalahan-kesalahan akan dimengerti, kegagalan dianggap manusiawi .  Menurut saya, itu hal yang cukup menenangkan hati. Walau bukan berarti kita lalu berlomba-lomba untuk melakukan kesalahan. Karena akan tiba masanya, di mana kita harus bertindak untuk diri kita sendiri. We have to speak for our own. Oleh sebab itu, kalau hari ini kita tak harus menanggung sendirian semua masalah yang seharusnya kita hadapi, don't get too excited, itu hanya berarti kita harus lebih siap menghadapinya nanti.

Namun, sisi yang paling tidak menyenangkan dari berada di 'tengah-tengah', ketika kita mulai ingin disebut wanita –daripada gadis– adalah terlalu banyaknya pertanyaan yang muncul di dalam otak kita. Terutama pertanyaan soal jalan yang akan kita tempuh, arah yang kita ambil, dan akan menjadi wanita seperti apakah kita nanti. Semua pertanyaan soal masa depan itu biasanya muncul bersamaan, dan semuanya seolah-olah menuntut jawaban dengan segera. Lagipula ini bukan pertanyaan-pertanyaan kanak-kanak soal cita-cita, yang jawabannya semudah: menjadi dokter, atau dosen, atau presiden. Ini adalah pertanyaan tentang hidup. Dan hidup seperti apa yang ingin kita miliki. Itu sebabnya, lebih sering daripada jarang, kamu jadi bingung dan frustasi dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Para psikolog sering menyebut fase peralihan ini sebagai 'masa pencarian identitas diri'. Saya lebih senang menyebutnya 'sebuah petualangan hidup yang mendebarkan!'

Tetapi tentu saja dalam setiap petualangan, kamu butuh peta dan kompas agar kamu tak tersesat atau salah memilih jalan. Supaya perjalananmu tetap aman sampai ke tujuan, tidak menjadi sebuah usaha penyelamatan diri dari tebing yang curam. Nah, anggap saja, beberapa langkah berikut ini, adalah peta dan kompasmu menuju masa depan. Beberapa langkah sederhana yang dapat membantumu melalui fase penuh pertanyaan ini dengan selamat.

1. Tidak Usah Berusaha Menjawab Semuanya Sekarang.

Tidak semua pertanyaan harus dijawab saat ini juga. Malah kebanyakan, pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam kehidupan, baru terjawab beberapa tahun kemudian, atau malah berpuluh-puluh tahun setelah kamu menanyakannya kepada Yang Kuasa. Yang terpenting saat ini, justru bukan menjawab semua pertanyaan, tetapi mengumpulkannya. Nanti, dalam perjalanan hidupmu, kamu pasti akan menemukan jawaban demi jawaban. Ingat waktu kita kecil, ada permainan mencocokkan gambar yang sangat mengasyikkan. Kita menarik garis dari kolom A ke kolom B, untuk mencocokkan gambar di kolom A dengan gambar di kolom B. Sendok dan garpu, amplop dan perangko, piring dan gelas. Seperti itulah kehidupan. Seiring dengan waktu, kamu akan menarik garis-garis, dan kamu akan menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaanmu, yang tidak selalu datang dalam urutan yang sama. Kadang pertanyaan yang baru saja muncul dalam benakmu terjawab lebih cepat daripada pertanyaan yang sudah lusuh dalam tumpukan pertanyaan lain di dalam hatimu. Tapi pada akhirnya, kita pasti akan menemukan jawaban-jawaban yang 'cocok'.

Nah, sekarang, yang lebih penting adalah bagaimana kamu benar-benar menjalani kehidupanmu saat ini dengan maksimal. Lakukanlah yang terbaik dalam apapun yang sudah dipercayakan kepadamu, apakah itu kuliah, keluarga, karir, atau cinta. Itulah jawaban yang boleh kamu ketahui untuk saat ini. Kamu punya keluarga yang menyayangimu, karir yang kamu sukai, dan cinta atau persahabatan orang-orang di sekitarmu. Pergunakanlah itu menjadi kekuatan untuk kamu melangkah ke depan. Dan menemukan jawaban-jawaban lainnya.

2. Cari Lebih Dalam.

Meski kamu tak harus menjawab semua pertanyaan sekarang, tidak berarti lalu kamu puas dengan kehidupan, dan memilih diam di depan televisi sambil makan pop corn. Sama sekali tidak. Terobosan-terobosan dalam hidup tak akan datang kepada penonton, non. Kesempatan-kesempatan emas hanya akan mendekat ke mereka yang berusaha meraihnya.

So, justru dalam masa-masa ini, carilah lebih dalam. Berjalanlah lebih jauh, dalam petualanganmu mencari identitas diri. Jangan puas dengan apa yang kamu lihat di depan. Dan jangan puas dengan apa yang kamu lihat di kaca, atau malah menjadi terintimidasi karenanya. Di dalam kamu, ada potensi yang begitu besar, yang masih belum tergali, yang jauh lebih bernilai dari apa yang kasat mata. Dan saat kamu menemukannya, mengembangkannya, memaksimalkannya, kamu benar-benar akan meraih kehidupan yang kamu impikan, atau malah yang belum terpikirkan olehmu. So, dig deeper, my friend!

3. Menjadi Ibu Untuk Sesuatu Yang Lebih Besar.

Ini clue-nya, kalau kamu bingung. Yang pasti, kamu tidak semata-mata ditakdirkan menjadi ibu dari anak-anakmu. Meskipun, itu adalah tugas utama seorang wanita, dan juga yang paling mulia (jadi kamu harus bangga menjadi seorang ibu ya). Siapa tak ingin berjumpa dengan seorang pangeran berkuda putih dan menikahi dia, lalu melahirkan putra-putri dan hidup bahagia selamanya. Bukankah itu adalah impian setiap wanita? Atau sekalipun kamu tak pernah mengimpikannya, sekali waktu, kamu pasti pernah memikirkannya, kan.

Namun bukan itu saja takdirmu. Kamu direncanakan untuk menjadi lebih daripada itu. Dan percaya tidak percaya, kebahagiaan yang sesungguhnya, adalah ketika kamu dapat membagi kebahagiaan itu pada orang lain. Dan jika kamu bertanya-tanya bagaimana caranya membagi kebahagiaan itu, well, jawabannya sederhana. Jadilah 'ibu' bagi banyak hal yang dibutuhkan oleh bangsa ini; Ibu bagi pelestarian budaya. Ibu bagi kehidupan berpolitik yang bersih dan kondusif. Ibu bagi perubahan. Ibu bagi pemerintahan yang adil dan benar. Ibu bagi peningkatan kualitas pendidikan masyarakat. Ibu bagi kesehatan ekonomi massa. Ibu bagi kesejahteraan bangsa. Ibu, bagi generasi-generasi yang akan datang.

Kamu siap? Sebuah kehidupan yang besar menunggumu! Jadi saatnya kamu menoleh ke kiri dan ke kanan, ke segala arah yang tak pernah kamu lihat sebelumnya, sambil mencari, adakah di sekitarmu sebuah kehidupan yang membutuhkan seorang 'ibu'? Dan mulailah lakukan sesuatu.

4. Berdampak, Bukan Populer.

Memang sulit untuk membedakan, apakah kamu ingin menjadi orang yang berdampak, atau orang yang populer. Ada garis tipis yang hampir tak kelihatan, di antara berdampak dan populer. Tapi mari kita menggunakan teori 'belum tentu'. Populer, belum tentu berdampak. Tetapi menjadi orang yang berdampak, tentu akan membawa popularitas yang baik dengan sendirinya.

Artinya, jangan mencari kehidupan yang populer, karena pada akhirnya kamu tak akan menemukan apa-apa di ujung perjalanan, selain popularitas yang menurun ketika waktumu senja. Tetapi carilah dan capailah kehidupan yang berdampak. Yang punya pengaruh bagi mereka yang ada di sekitarmu, dan yang membangun mereka menjadi orang yang lebih baik. Maka niscaya, kamu akan bertumbuh menjadi wanita-wanita dewasa yang dapat menjadi panutan untuk jutaan generasi yang akan datang.

Jadi tidak ada yang salah dengan demikian banyaknya pertanyaan yang melingkupimu saat ini. Kemasi pertanyaanmu dan masukkan dalam kapsul waktu. Biarkan hidup maksimalmu yang menjawabnya. Selamat berpetualang, wanita-wanita muda yang hebat!

Ketika Tuhan Menolong Aku

Posted by Sarah Audrey Christie , Kamis, Juni 28, 2012 10.21

Ketika embun di ujung daun, hampir menetes.
Ketika kaki di tepi jurang, hampir terperosok.
Ketika petir menyambar, hujan hampir menghujan.

Ketika itu, Tuhan menolong aku.

Ketika matahari menghilang, awan hitam menjelang.
Ketika tangan manusia tak kunjung datang.
Ketika sahabat sejarang emas di penggalian.

Ketika itu, Tuhan menolong aku

Ketika tangis hampir meledak,
Amarah hampir memuncak,
Nasib sungguh terdesak,

Ketika itu, Tuhan menolong aku

WaktuNya selalu tepat,
Ia tak pernah terlambat.
Sejenak menunda, sedikit berpaling muka,
Menilik kedalaman hati manusia

Tapi sesudah nampak kesusahanku
Dan tekuk lutut tak mampu,
Pada waktu yang sungguh itu,
Ia menolong aku.

Sebab Ia adalah Tuhan.
Tuhan yang tidak terlambat.

Selalu Bersamaku.

Posted by Sarah Audrey Christie , Rabu, Mei 04, 2011 20.52


Sedalamnya hatiku Kaupun tahu
dan kasih Mu tak jauh dalam jiwaku
Didalam kesesakan didalam kemenangan
Ku tahu Engkau selalu bersama ku

Sedalamnya hatiku Kaupun tahu
dan kasih Mu tak jauh dalam jiwaku
Didalam kesesakan didalam kemenangan
Ku tahu Engkau selalu bersama ku

Hanya Kau tempat ku berlindung
Hanya Engkau lagu ku dan kekuatan ku
Ijinkanlah kudatang menyembah membawa syukur ku

Sedalamnya hatiku Kaupun tahu
dan kasih Mu tak jauh dalam jiwaku
Didalam kesesakan didalam kemenangan
Ku tahu Engkau selalu bersama ku


Hari ini, aku mendengar lagu karya Sidney Mohede ini terputar lagi di ponselku, setelah beberapa lama aku tak mendengarnya. Dalam sekejap aku tahu, Tuhan ingin mengatakan sesuatu kepadaku. Ia pun seakan-akan membawa memoriku kembali ke masa-masa itu. Masa-masa yang kelam, yang kupikir tidak dapat kulewati. Masa-masa ketika Mama meninggal di bulan Desember 2010.

Sudah lewat 4 bulan sejak Mama pergi untuk selamanya. Dan aku masih ingat benar, bagaimana rasanya, bagaimana sakitnya, dan bagaimana hancurnya hatiku pada saat itu. Dan bagaimana aku berpikir bahwa mungkin, aku tidak akan dapat melalui semua ini. Bahwa aku sebaiknya berhenti, menyerah, dan menutup mataku terhadap kenyataan yang terlalu menyakitkan.

Dalam kehampaan yang terasa begitu sepi itu aku berkali-kali bertanya mengapa ini harus terjadi, dan karena aku tidak memperoleh jawaban yang cukup masuk akal, maka berkali-kali pula aku mengatakan kepada Tuhan, “Bapa, jika aku gagal melalui semua ini, aku harap Kau mengerti. Mungkin memang aku tidak cukup kuat untuk hal-hal seperti ini. Mungkin kau salah memilihku untuk situasi ini”. Aku berkata bahwa aku tidak sanggup, karena memang pada saat itu, terlalu banyak rasa sakit yang mengikuti kepergian Mama. Terlalu banyak ‘gempa’ susulan yang mengikuti gempa pertama. Jadi aku pikir, ini terlalu besar untukku, dan aku kira aku tidak siap untuk hal-hal yang seperti ini. Pada saat itu, aku pun berpikir sederhana. Kelihatannya aku harus bersiap-siap tinggal dalam gua kekelaman ini untuk seterusnya. Aku sebaiknya tidak membuat rencana masa depan, karena mungkin aku akan terdampar di sini selamanya. Pada saat itu, sebatas itulah harapanku. Mataku dibutakan oleh kedukaan, sehingga aku tidak dapat melihat Tuhan. Harapanku terlalu kecil dan semakin kecil jika dibandingkan dengan Tuhan yang besar.

Aku masih ingat, bagaimana pada masa-masa itu, lagu inilah yang terputar terus di telingaku dan berulang bait demi baitnya di dalam hatiku. Dan setiap kali lagu ini dialunkan, setiap kali itu juga aku merasa Tuhan ada di sana bersamaku. Ia berlutut di tanah yang lembab lalu duduk di sebelahku di dalam gua yang kelam itu. Tanah yang basah mengotori jubahNya, tapi Ia tak begitu peduli. Ia mengangkat wajahku yang bersimbah air mata dan dengan lembut berkata, “Aku ada di sini, Anakku, Aku ada di sini. I hear you, and I am with You.  Karena itu kamu harus bisa, Aku tahu kamu bisa, karena Aku ada di sini. Aku tidak akan pergi, Aku akan duduk bersamamu di sini dan menunggu sampai kamu siap untuk keluar. Dan jika kamu sudah siap, peganglah tanganKu dan selamanya aku tidak akan melepaskanmu, kamu bisa mempercayaiKu untuk itu, Aku akan membawamu keluar dari sini. Jangan takut. Sebab kamu tidak akan pernah sendirian. Aku ada di sini…”

Dan entah kapan tepatnya, tapi aku akhirnya memberanikan diriku untuk meraih tangan Tuhan demi bangkit dari keputusasaanku, aku memegang tanganNya erat-erat dan dengan takut aku melangkah. Melalui kekelaman, melalui dinginnya malam, melalui rasa sakit demi rasa sakit. Sampai di suatu masa yang mencekam itu, samar-samar kulihat cahaya di ujung kegelapan. Aku memegang tanganNya semakin erat, lalu Dia tersenyum dan mengajakku berjalan lebih cepat, Ia mengencangkan pegangan tanganNya dan mulai membawaku berlari, dan berlari lebih kencang, menuju cahaya itu. Dan sepanjang kami berlari itu Dia terus mengatakan kepadaku, “Percayalah, Aku masih di sini, Aku memegangmu, kamu tidak akan jatuh, Aku ada di sini, percayalah padaKu, dan mari kita berlari ke cahaya itu!”

Hari ini, di pagi yang cerah ini, aku melihat diriku sendiri, berdiri di sini. Di tempat yang terang, sangat terang. Dan aku baru sadar, bahwa aku sudah di luar. Aku sudah di luar! Hey, aku sudah di luar gua kekelaman itu! Ternyata aku sudah keluar! Ah, aku baru sadar! Tapi jika kupikir-pikir, sepertinya aku memang sudah berada di luar, karena aku merasa sangat baik. Aku merasa ‘hidup’ kembali. Dan untuk pertama kalinya sejak saat itu, aku bisa mengatakan bahwa aku masih punya kesempatan untuk bahagia. Aku masih punya masa depan yang penuh harapan.

Aku sungguh bersyukur aku bisa berada di sini dan mengatakan bahwa hidupku indah, dan hidupku masih berlanjut, dan perjalananku belum akan berhenti dalam waktu dekat. Aku bersyukur bahwa aku bisa bangun di pagi hari dan tersenyum kepada Tuhan karena aku sungguh merasa bahagia. Aku bersyukur karena aku dapat kembali menari mengikuti alunan lagu Elvis Presley. Aku bersyukur karena aku dapat kembali menuliskan semua pemikiranku ke dalam kata-kata yang bermakna. Aku bersyukur karena meskipun hujan selalu mengguyurku sepulang kerja, aku tetap tersenyum atau bahkan tertawa. Aku bersyukur karena aku menemukan teman-teman lamaku dan ternyata mereka masih sama. Aku bersyukur, karena hal-hal yang sederhana. Aku bersyukur karena ternyata aku tidak kekurangan, tetapi justru berkelimpahan dengan sukacita. Dan jika aku dapat berada di sini dalam keadaan yang sangat baik ini, aku percaya bahwa semua itu semata-mata karena Tuhan. Tuhan yang tidak terlihat tetapi juga tidak terkalahkan. Yang terlalu besar untuk kuukur dengan logika. Tuhan yang mau mengotori jubahNya untuk duduk di gua yang lembab hanya supaya Aku tak merasa sendirian. Tuhan yang kemudian memegang tanganku dan membawaku keluar dari segala perasaan yang mencekam itu, dan yang tidak pernah meninggalkanku, walau sedetik pun tidak. Tuhan yang mendengar erangan kesedihanku, tapi tidak memarahiku atau dengan dingin mengatakan “Jangan menangis, aku tidak suka melihat orang yang menangis”. Malahan Ia berkata “Menangislah, menangislah sekeras-kerasnya, Aku mendengarmu, Aku menangis bersamamu, tetapi setelah itu bangkitlah, bangkitlah bersamaKu.”

Ia adalah Bapa yang baik. Ia mengijinkanku jatuh. Agar Ia dapat mengangkatku kembali. Agar Aku dapat mengenalNya lebih lagi dan lebih lagi memahami, bahwa Ia tetap tak terkalahkan bahkan oleh kesedihan atau kehilangan, oleh kedukaan, atau keputusasaan, karena atas semuanya itu Dia sudah menang.

Jadi kalau kamu hari ini benar-benar merasa berada di dalam gua yang paling kelam dalam hidupmu, Aku hanya dapat berkata, jangan takut, sebab, kamu tidak pernah benar-benar sendirian. Karena Tuhan ada di sana. Kamu mungkin tidak dapat melihatNya, tetapi Dia melihatmu. Dan Dia peduli. Dia sedang mengulurkan tanganNya sekarang. Dan jika kamu sudah siap, Dia sendiri yang akan membawamu keluar, dan tak akan melepaskanmu lagi untuk selamanya. Mungkin sekarang adalah saat yang tepat untuk kamu mengulurkan tangan…


*Dedicated to all my good friends, can't do it without you!^^*

Filosofi Benih dan Tanah.

Posted by Sarah Audrey Christie 20.47

Benih, jika ia jatuh ke tanah yang subur, ia akan tumbuh, meskipun ia tidak mendapatkan sinar matahari yang cukup, dan meskipun ia jarang disirami. Meskipun tak ada angin, atau lebah-lebah yang membantu penyerbukan. Ia akan tetap tumbuh, apapun yang terjadi. Karena ia adalah benih yang jatuh di tanah yang subur. Jadi ini adalah masalah tanah. Tanahnya memang subur. Masalahnya, kamu dapat saja menghalangi sinar matahari, atau memilih untuk tidak menyirami, dan kamu bisa mengusir lebah-lebah, tetapi kamu tidak bisa menghalangi benih-benih itu jatuh ke tanah yang subur. Paling tidak, angin cukup punya andil dalam hal ini. Dan kamu memang tidak dapat menghalangi angin. Jadi mungkin aku harus berterima kasih pada angin...

Aku Tidak Dapat Melakukannya Sendirian.

Posted by Sarah Audrey Christie 20.43

Tuhan, aku baru sadar, aku tidak dapat melakukan semuanya sendiri.

Aku tidak dapat mengurus hal-hal yang kuhadapi sekarang sendirian, aku tidak dapat menghadapi orang-orang yang harus kuhadapi ini, sendirian.

Aku tidak memiliki pengetahuannya, dan aku tidak mempunyai kemampuannya. Aku melakukan terlalu banyak kesalahan, aku seringkali kehilangan diriku sendiri. Aku sungguh tidak seharusnya mendapat kepercayaan ini. Mungkin Tuhan terlalu tinggi menilai aku. Mungkin ekspektasi Tuhan terlalu besar kepadaku. Aku takut jika aku terus berusaha sendiri, maka sesuatu yang fatal akan terjadi, lalu aku akan menyalahkan diriku sendiri. Dan aku sudah cukup lelah berusaha berpikir secara rasional bahwa semua memang harus terjadi, dan tidak ada satu pun yang terjadi ini yang harus dibebankan kepadaku sebagai sebuah kesalahan, tetapi harus kuhadapi sebagai sebuah tantangan, dan harus kutaklukkan karena aku harus menang. Karena aku memang tidak punya pilihan. Aku harus menang. Itu satu-satunya pilihan.



Tapi aku tidak tahu caranya, ya Tuhan. Aku benar-benar tidak tahu caranya. Bagaimana melalui semua ini dengan tanpa rasa sakit. Tanpa kesalahan. Sempurna dengan nilai A. Karena aku tidak sempurna. Engkau melihat aku dengan jelas dari atas sana, betapa lemahnya dan tak berdayanya aku. Betapa kikuknya aku dalam beberapa hal, betapa tak berpengalamannya dan tak berpengetahuannya aku. Aku sudah menekan diriku untuk belajar, tapi aku tidak tahu apakah otakku cukup cepat menyerap semua pengajaran ini dalam waktu singkat. Aku memeras otak, berusaha tegar, memperpanjang batas kesabaran, tapi pada akhirnya, aku tetap ingin berteriak dan menangis sekeras-kerasnya. Aku tidak ingin orang mendengar. Aku hanya ingin Kau mendengar.

Waktu aku katakan aku tidak kuat, I mean it God. It is beyond my league. Aku harus mengejar untuk melakukan sesuatu yang dipelajari orang selama bertahun-tahun, dan aku harus menjadi mahir dalam beberapa hari. Demi kebaikan, sekali lagi, aku setuju denganMu, ini memang demi kebaikan. Tapi yang aku tidak yakin adalah waktu yang Engkau berikan. Aku tidak yakin itu masuk akal. Tapi lagi-lagi, bagaimana akalku dapat membatasi Engkau, yang melampaui segala akal?

Kau selalu membuatku melakukan hal-hal yang tidak masuk akal, dan aku tidak menyalahkanMu untuk itu. Sebagai pribadi yang telah menjadikan dunia ini dengan segala keajaibannya, akal tentu bukan ukuran yang Kau pakai dalam menentukan rancangan-rancanganMu. Dan aku tahu Engkau lebih tahu aku daripada diriku sendiri. Sebab Engkau menjadikanku, dan bahkan pikiranku, semuanya dari padaMu. Jadi kalau saat ini Engkau menggunakan aku untuk sesuatu hal yang menurutMu baik, hey, I’m in 100%. There’s no argue in that part.

Dan, syukurlah, di akhir hari ini, dan di akhir segala kepenatanku ini, aku masih percaya Engkau tahu apa yang Kau lakukan. Aku tidak kehilangan keyakinan. Walau di dalam kepalaku sempat berkecamuk beraneka ragam keraguan. Ya, aku tahu, keragu-raguanku terhadap diriku sendiri hanya akan berarti aku meragukan Engkau. Aku cukup yakin Kau tidak begitu menyukai hal itu.

Hanya, aku harus mengakui di hadapanMu, terkadang aku tidak menguasai diriku sendiri. Aku tidak menguasai sekitarku… Dan aku sungguh tidak dapat melakukan semuanya sendiri.

Jadi hal terbaik –dan mungkin yang paling benar – yang dapat kulakukan saat ini, adalah memohon agar aku tidak menghadapi semua ini sendirian. Aku mohon, please be here God, please be by my side. Cause I can’t do it alone. That’s all I’m asking you. Yaaa, sebenarnya bukan itu saja. Lebih tepatnya, itu yang paling aku butuhkan saat ini. A company. A friend. Dalam segala jalanku. Karena aku tak ingin sendirian. Aku tak bisa sendirian. May God (Yes, I mean You, God) be with me.

You are not forgotten.

Posted by Sarah Audrey Christie , Minggu, Oktober 10, 2010 00.46

Today I was amazed by God (again) and His restless love and care for me.
He said something that broke my heart into pieces and put it again altogether in the right place.

I was caught up with my self yesterday, that put me in a really bad mood, which I can say, lucky no one's there. But that's the problem at the beginning. No one's there! I was so fed up with my life and I needed someone to talk to, but no one's there. Everybody was conveniently busy with their own stuff. My brother was at work, my colleagues were nowhere within my reach, and the only best friend who would listen to me if she wasn't asleep, lives so far far away that I wish I could go there every time, but apparently I can't. So I made a short conclusion with unfortunately not much wisdom left, and I just shouted out loud: God, maybe you just don't love me anymore. How come you make me wait, for everything... Even for a friend? I was lucky that God Himself is love. He didn't send a large scary thunder to make His point to me. I think He just sat down at His throne and sighed.

Then like usually, whenever I am confused and not being myself, God put me to sleep, so deep, that I woke up late this morning. Sunday morning, that I can't afford to be late, because the church I've been going these past few weeks is a very very, and I mean very packed up church. I'm telling you, you can't be late if you want to go to this church, or you will end up sitting on the stairs, hearing the delayed voice of the priest from a 42" plasma TV. So there I was, so late, still confused, haven't finished my make up and haven't gotten the chance to fix my hair, and the clock's ticking like a time bomb.... then I said God, let me just stay home and cry. I don't want to sit on the church's stairs. Just let me stay home, okay. I'm sorry...... But the moment I went back to my bed to sit and cry, God said in my heart: Go. So I woke up, and rushed myself to find a cab. Why? Because I believe when He say something He mean it. I believed Him.

I arrived ten minutes later than I supposed to be, I ran and took the stairs and tried to beat everyone who's taking the elevator. And when I reached the 10th floor, with my heart beat still racing with my breath, getting ready to sit down outside the main room or on the stairs if I must, an usher called me and let me in, then inside, another usher called me and gave me the front seat. I mean the front seat! Where I can see the priest's face so clear that maybe I can see his pimple if I want (no, I'm just kidding, it's not that close...). I was about to sit and thank God for all that, when God shouted in my heart: "Now you tell Me I don't love you?!"
That moment, like I said earlier, my heart broke into pieces and pulled together right away to be put back in the right place. Everything that was wrong in my heart was fixed, and I got myself back, a one loved human being, God's own child, the apple of God's eye. And I realized, that I was not being myself these two days, I was letting myself go with what satan said about me. It's all him who said that I wasn't loved. It's him who told me that God forgot about me. And I was being stupid when I believed all those lies.

At the end of the sermon, the priest asked us to open Jeremiah chapter 1 verse 5 that said, "before I shaped you in the womb, I knew all about you. Before you saw the light of day, I had holy plans for you..."
You see, that is how much God loves us. He knew all about us since there is none of us yet. He had plans for us, even before we're able to make our own plans. So when He loves us that much, it is purely impossible to forget about us.

Now I don't know where you are, and what happened with you. Maybe you're fed up with life just like I was yesterday, maybe your friends were busy and you feel very lonely, and maybe it's so hard for you to understand why this or that is happening to you, and maybe you begin to think that God doesn't love you anymore. If it did cross your mind today, let me suggest that you sit down and pray. Imagine Him holding your hands, and imagine you look Him in the eye. And look again deeper in the realm of your spirit, take your time to calm down... And I bet, you will see, that He has nothing but love for you. Because that is Him. He can only love. And to Him, you are His everything. He had beautiful plans for you. For He loves you more than you love yourself. You have to remember that. So you wouldn't let satan's lies take away your joy and faith.

Then go to sleep. I think it helps. ^^

Sometimes it's not about what I want.

Posted by Sarah Audrey Christie , Senin, September 06, 2010 09.52

I wanted a room, where everything is mine, but if I only have a desk and a chair, then it's going to be fine. I wanted new things all the way, but old things work better anyway. I wanted to be heard by people, and no one did, but God heard me, and more than those people, He actually did something, and make a difference. I wanted to be able to solve all my problems, and turned out that I couldn't, but just in time, God took over everything and everything is solved, in ways I can't think of...
I wanted freedom, but I got stuck in a place where freedom is as rare as seeing mars with bare eyes... but you know what, it doesn't seem to limit my ability to speak, and to think, and to walk, and to learn and to do good things, so it doesn't matter.

I wanted a lot of things but a lot of things isn't always the answer. Sometimes the answer is in the smallest thing, if I remember to always give thanks in the end of the day.