The Waiting Room.

Posted by Sarah Audrey Christie , Kamis, Juni 17, 2010 09.38

Kapan terakhir kali aku ‘mendengar’ keheningan yang seperti ini…? Begitu tenang… begitu ringan…. Ah…sudah lama aku tak merasakan ketentraman yang kurasakan sekarang. Saat hanya ada aku dan kedamaian. Dan itu saja. Tak ada beban, tak ada keramaian yang meyesakkan. Tak ada suara dering telepon yang mengangguku dengan sejuta tuntutan. Wow… I forget how sweet is the sound of silence… Betapa merdunya suara keheningan ini… Saat suara-suara hanya melambai dari kejauhan. Saat musik swing jazz itu mengalun perlahan dalam harmoni yang lembut… membuat hatiku ingin berayun mengikuti irama yang indah… benar-benar kedamaian yang tak terkatakan… Tapi, sebentar… musik Jazz? Di mana kah aku?

Perlahan aku membuka mata… Samar-samar mataku mengumpulkan cahaya sekitar dan mulai mencari refleksi-refleksi informasi. Aku sedang terbaring di sebuah sofa merah yang sangat nyaman, di dalam sebuah ruangan putih yang luas dan tak berujung. Aku masih mengenakan pakaian kemarin… dan itu hanya berarti aku belum mandi… Dan bahwa aku belum pulang ke rumah… Karena tak mungkin aku bertahan dengan pakaian kerja selewat jam kerja. Sungguh sangat tidak biasanya. Tapi aneh, seingatku, kemarin aku tengah dalam perjalanan pulang….

Di manakah aku? Sepertinya itu pertanyaan yang lebih tepat. Aku mencoba melemparkan pandangan dan berusaha memahami di mana dan sedang apa aku di sini. Walaupun, tidak ada perasaan takut atau khawatir, hanya ada rasa damai yang menyejukkan hati. Dan sepertinya, damai itu berniat untuk tinggal selamanya di dalam hatiku.
Lalu… tak seberapa lama aku memandang sekeliling, mataku pun melihat dia, seorang laki-laki yang tampan, dan sepertinya sudah cukup lama ia duduk di sebelah sofa tempat aku berbaring.

“Hai…” Sapanya lembut… “Namaku Gaby…” sambut laki-laki ini. Aku berusaha mengamati dia, dari atas ke bawah, seperti yang biasa kulakukan terhadap semua orang. Ia bersetelan jas abu-abu, dengan sebuah dasi merah marun tergantung manis di lehernya. Rambutnya kecoklatan dan terpangkas rapi, matanya biru. Benar-benar tampan….

“Terima kasih…” katanya sambil mengedipkan sebelah matanya padaku… aku heran…

“H…hai….” Aku terpatah-patah…. Mungkin karena ia terlalu tampan…. Atau memang aku terlalu heran… di mana aku sebenarnya??

“Selamat datang di Surga…” katanya lagi dengan senyuman yang paling mempesona yang pernah kulihat.

“S…S…Surga?” O my God…. Aku sudah mati…. Hatiku pun sedikit menyesal…

“Belum… kamu belum mati….? Sebenarnya ini hanyalah ruang tunggu Surga… Kamu di sini karena suatu maksud…”

“Oh… belum..” Aku menghela napas lega… “Anda membaca pikiranku?” Tanyaku…

“Pretty much yes… “ Jawabnya sambil tertawa kecil… “Bagaimana perasaanmu?” tanyanya lagi.

“Ah Anda bercanda…. Tentu Anda sudah tau bagaimana perasaanku.” Jawabku sedikit ketus… Buat apa bertanya jika ia memang dapat membaca pikiran…

“Hahaha, yaaaa aku hanya berusaha bersikap sopan…” Katanya lagi.

“Aku bingung…” Aku mencoba mencari penjelasan darinya. Ia tersenyum menenangkan.

“Kamu kemarin mengalami sebuah kecelakaan yang cukup dahsyat… Terlalu banyak yang kamu pikirkan, sehingga kamu berjalan pulang dengan hati yang bimbang, kamu tak waspada saat menyeberang jalan…”

“Oh… my God….” Aku tak dapat berkata-kata… Sepertinya memang aku benar-benar berada di ruang tunggu Surga… sedang menunggu giliran untuk masuk ke sana dan selamanya meninggalkan dunia… Ini benar-benar saat yang tepat untuk mengatakan: tamatlah riwayatku!

“Hahahaha…. You got a great sense of humor…” Tukasnya sambil tertawa… Ia lalu mengambil sesuatu dari kantong celananya.

“IPhone 4?!!” Aku berseru kecil…Aku benar-benar terkejut… Apa benar ini Surga?

“Hahaha, tentu saja, kau pikir Surga hanya menyimpan lukisan Leonardo Da Vinci? Kami mengikuti trend kok… Aku baru mendapatkannya tadi pagi… Kami sangat terbantu dengan alat-alat ini. Apalagi Ipad… bagus sekali… sekarang semua memakainya saat praise and worship…”

Aku tak dapat berkata-kata…

“Sebentar..” katanya… ia pun memainkan ujung jarinya pada layar Iphone dambaanku itu dan lalu berpaling kepadaku lagi.

“Tuhan ingin menyampaikan sesuatu kepadamu…” ulas Gaby lembut.

“Ia mengasihimu… apapun yang terjadi, Ia tetap mengasihimu. Semua orang boleh bilang apa yang mereka mau bilang tentang kamu, tapi itu tidak akan mengubah pendapat Tuhan tentang kamu. Bagi Dia, kamu tetap “kepala jeruk” kesayanganNya…” ujar Gaby sambil menyentuh kepalaku lembut. Aku menitikkan air mata. “Kepala jeruk” adalah panggilan sayang keluargaku kepadaku….

Aku memang sedang merasa sendirian saat-saat ini, pikiranku kalut. Lalu aku memutuskan untuk menjerumuskan diri ke dalam pekerjaan yang malah dengan sukses memakanku hidup-hidup. Aku jadi tak sempat berpikir dengan kepala yang jernih. Terlalu banyak tekanan, terlalu banyak tuntutan, terlalu banyak masalah yang tak terselesaikan.

“Penyesalan, itu masalahmu, terlalu banyak penyesalan, bagaimana kamu menikmati hidup, jika kamu selalu dibayangi masa lalu?” Gaby mulai memasang wajah serius. “Hari-hari ini kamu terus teringat akan kesalahan-kesalahan yang telah kamu lakukan puluhan tahun yang lalu. Kesalahan-kesalahan yang telah berkarat karena waktu. Seperti misalnya, ketika kamu melakukan kesalahan pada orang yang kau sayangi, karena kau tak menolongnya saat ia benar-benar membutuhkan pertolonganmu.”

“Iya….” Jawabku lirih… aku harus menahan air mata agar tak semakin membanjir…

“Aku sudah mengampunimu anakKu, kata Tuhan, bahkan sejak sebelum kamu memintanya dariKu, Aku telah mengampunimu” Gaby mengutip… Tangisku pun tak tertahankan…

“Kau tak percaya? Nih, lihat, Tuhan baru saja mengirim sms…” Ia menunjukkan layar Iphone-nya kepadaku… Aku tertawa dan menangis bersamaan…

“Hari-hari ini… kau juga diingatkan oleh masa-masa di mana orang yang kau sayangi tersakiti, dan kau tak dapat berbuat apa-apa… Dan pada masa-masa tertentu, kau memang masih terlalu kecil untuk melawan mereka yang menyakiti orang yang kau sayangi…” kata Gaby perlahan, tapi pasti. Lalu ia pun menambahkan…

“Ada hal-hal yang di luar kendali kamu, anakKu, tapi tidak pernah di luar kendaliKu. Kamu tidak bersalah apa-apa… Dan terkadang memang tidak dapat berbuat apa-apa selain berdoa. Ada hal-hal yang memang harus terjadi. Tetapi percayalah semuanya pasti akan membawa kebaikan di masa depan… begitu kata Tuhan…” Gaby menjelaskan…

Aku menghela napas pertanda menyesal… menyesali semua yang tidak dapat kulakukan saat aku seharusnya melakukan sesuatu…

“Tidak ada yang dapat kamu lakukan saat itu, my dear… It has to happen, and it happened for good….” Gaby memelukku erat… air mataku membasahi setelan jas yang tampaknya mahal itu… “Menangislah, kalau menangis membuatmu melepaskan masa lalu, kalau menangis membuatmu melupakan kesalahan-kesalahan, kalau menangis dapat membuatmu memaafkan dirimu sendiri.” Ujar Gaby terharu…

“Sebentar, aku belum selesai…” Gaby mengambil nafas… “Yang ketiga, ini yang paling menyebalkan dari kamu…” Gaby memegangku agak keras dan kembali memasang ekspresi serius yang sedikit menakutkan itu.

“Hah? Aku?” Aku pura-pura tak bersalah…

“Semua penyesalan itu my dear, membuatmu takut menghadapi masa depan! Kamu jadi terlalu takut untuk mencoba. Kamu takut untuk gagal. Padahal, belum tentu kamu gagal. Actually, there’s a good chance that you will suceed, but only if you keep on trying… “

Aku terdiam…. Berpikir… berusaha mencerna apa yang ia katakan barusan.

“Seperti misalnya… kamu menyukai seseorang… ya kan…?” Gaby tersenyum penuh arti.

Aku tertunduk… wajahku memerah padam… Aku pura-pura mengusap tangis walau sebenarnya aku berusaha menutupi muka. Aku malu… ini perbincangan yang sangat pribadi lho sebenarnya…

“Katakan… kalau kamu memang suka, katakan… kenapa sih kamu harus bertahan, saat tak ada yang perlu kamu pertahankan? You have nothing to lose, dear, kalaupun kamu tidak mendapatkan dia, kamu pasti mendapatkan seseorang yang jauh lebih baik. Itu janji Tuhan. Tapi terkadang, dalam suatu masa dalam hidup, kamu harus ambil resiko. Dan menikmati debaran-debaran resiko itu. Itu yang namanya adrenalin, my friend! Dan itu yang namanya hidup! Saat adrenalin itu bergejolak, bukankah pada saat itu kamu merasa hidup?”

“Yeaah… tapi….” Aku ragu…

“Hey, wake up, my dear, wake up! Hidup ini cuma sekali. Percayalah padaku, kamu akan menyesal jika kamu tak pernah menyatakan perasaanmu kepada orang yang seharusnya mengetahui itu. Tuhan bahkan menyerahkan padaku untuk menasehati kamu soal perkara ini… Karena menurut Dia, aku ahlinya! Jadi, dengarlah nasihat dari seorang ahli, kamu akan menyesal, jika kamu memutuskan melewati hidup tanpa melakukan apa-apa…”

Aku bingung… dan yang lebih aneh lagi…. Aku percaya padanya… Ia benar… Aku memang menyukai seseorang, tetapi aku memutuskan untuk tidak melakukan apa-apa, karena terlalu takut untuk mencoba… Aku takut apa tanggapannya jika ia tahu aku suka… Apakah ia akan menjauh? Atau ia akan memandangku sebelah mata? Aaaah…. Aku takuuut….

“Ia tahu kamu istimewa, my dear… Ia pasti tahu… Ia bukan laki-laki bloon lainnya yang pernah kukenal… Gaby hanya berteman dengan laki-laki sejati… dan menurutku ia salah satunya kok… lagipula, percayalah, semua orang yang berhasil dalam hidupnya adalah orang-orang yang berani ambil resiko. Kalaupun ia tidak membalas perasaanmu… pasti akan ada seseorang yang lain yang mampu melihat cahaya yang terpancar dari wajahmu… dan dari hidupmu.” Gaby berkhotbah dengan yakin.

“Tapi… aku bahkan tak mengenal dia… kami hanya berpapasan beberapa kali… Aku di sini, dan dia di sana, kami dipisahkan oleh jarak, kesempatan, dan waktu… Aku tidak yakin Gabe, aku benar-benar tidak yakin…”

“Ya kalau begitu buatlah jarak, kesempatan, dan waktu! If there’s no way, you make a way!” bentaknya gemas pada keragu-raguan dalam hatiku.

“Yeaah… let me think about it…” aku beralasan.

“Don’t think, do! And remember what I said, wake up, my dear, wake up!”

Aku tersedak, pandanganku kabur, seluruh udara sekitar seperti ditarik dariku. Aku melesat cepat ke dalam labirin waktu, berkecepatan maksimum hingga 400 km/ jam, dan blar… ada sinar yang sangat terang di depanku, lalu aku dan segenap tubuhku dilempar jauh ke dalamnya, aku jatuh terpelanting ke atas sebuah tempat tidur… menyelinap masuk ke dalam tubuh penuh luka yang menyerupai aku. Aku tersadar dengan cepat, karena udara sekitarku belum kembali… Dadaku sesak memanggil O2…

“Dear…. My dear” Suara yang kukenal memanggilku lembut… itu… itu mama…. Aku berusaha membuka mata…

“M…Mama…” aku menjawab lirih… tapi lega… aku telah kembali… Aku…. Rasanya aku hidup sih… karena aku dapat merasakan remuknya tulang-tulang di tubuhku… Sakitnya luar biasa… Tapi entah mengapa aku seperti merindukan rasa sakit ini… bahkan aku bahagia menyambutnya… Karena itu berarti aku masih bernyawa…

“Dok…dokter, bagaimana anak saya… kok seperti sesak nafas gitu…?”

“Tidak apa-apa bu, ini berarti kesadarannya telah kembali… Ia akan baik-baik saja…” jawab seseorang berjas putih di sebelahku, dasi-nya merah marun… rambutnya coklat dan terpangkas rapi, tampan, dan bermata biru… tunggu….. sepertinya aku mengenal dia??

“Ga…Gab…..” Aku berusaha memanggil…

“Gabriel, nama saya Dokter Gabriel… ooh, kamu pasti melihat name tag saya ya… Wah bu, anak Anda sepertinya akan cepat pulih… Ia sudah dapat mengenali saya dengan baik…” ujar… dokter gadungan ini… Dia Gaby! Aku tahu dia Gaby….

“Iya ya dok… aduuuh syukurlah, saya sudah ekstra kawatir tadi…” Ujar mama dengan mata yang berseri… Ia lega karena aku baik-baik saja…

“My dear, cepat sehat ya, dan ingat… wake up!” kata Gaby tegas… mama bingung… aku mengerti… lalu ia membisikkkan beberapa kata ke telingaku… “karena mungkin kamu cuma punya hari ini… Lakukan apa yang harus kamu lakukan…” lalu Gaby berjalan meninggalkan aku dan mama, keluar dari kamar dan menghilang di kejauhan…. Aku terdiam… Aku bingung… jadi aku kembali ke dunia ini hanya sehari?? Jadi aku hanya diberi kesempatan hari ini?! Aaah betapa tidak adilnya dunia ini… Apa yang bisa kulakukan dalam sehari…? Tapi… aku tahu apa yang harus aku lakukan… at least, dalam semua kesempatan yang telah aku lewatkan, aku tidak akan melewatkan kesempatan yang terakhir. Karena toh, aku tak akan bertemu lagi dengannya…

“Ma….”

“Yes dear… eeh, pelan-pelan…” aku berusaha bangun dan melepas semua alat bantu medis yang membelit aku….

“Aku mau ke tempat Matthew…” Mama mengernyitkan kedua alis tanda tak mengerti… Ia tahu siapa Matthew… karena aku selalu menceritakan tentang dia sepulang kerja… Tapi yang ia tak mengerti adalah mengapa aku harus menemui orang itu sekarang… namun hari itu mama tak mengucap sepatah kata… Walau biasanya sejuta wejangan harus kuterima sebelum akhirnya aku memutuskan untuk tidak melakukan apa-apa karena aku sudah terlalu lelah mendengarkan semua wejangan itu. Tapi kali ini mama diam, membantuku melepas semua alat bantu yang menempel di tubuhku…. Aku heran… tulang-tulangku tak terasa begitu sakit lagi… Hanya tersisa nyeri-nyeri kecil. Aku pun berjalan, mengambil pakaianku dan melangkah pergi… sebelum berlari keluar, aku menoleh sejenak ke arah mama…

“Ma, mama tahu kalau aku menyayangi mama kan… aku akan segera kembali, aku hanya harus melakukan sesuatu yang seharusnya sudah ku lakukan sejak lama… aku harus mengatakannya ma, aku harus…”

Mama terharu, ia sedih dan bahagia…. Ia sedih karena aku harus pergi meninggalkan dia dalam kegundahan, tapi ia bahagia karena aku akhirnya berani melangkah ke depan dan menempuh segala resiko demi kebahagiaanku sendiri.

Aku berusaha berlari, tertatih-tatih tapi pasti… mama melepas kepergianku dengan bangga, sembari mengusap tangis sukacita… Aku terus berlari, dan berlari… lalu aku sadar, mungkin aku seharusnya naik taksi… lalu aku pun naik taksi…. Menyusuri jalan yang lengang karena ternyata hari itu masih pagi… hingga akhirnya aku pun tiba di kantor Matthew… lalu aku duduk… aku baru sadar… ia pasti belum datang… jadi untuk apa sebenarnya aku tadi lari-lari… ah, aku ingat… karena aku cuma punya sehari untuk hidup… Aku memang punya alasan untuk terburu-buru… Tapi bagus… bagus…benar-benar sempurna… aku harus cepat, tapi aku bahkan tak tahu nomor telepon pria yang aku suka, karena terlalu takut untuk bertanya… Jadi aku hanya bisa berdoa, agar ia datang lebih pagi ke kantor… karena aku sudah mengigil kedinginan, diliputi embun pagi yang membeku…

“Hai…?” sapa sebuah suara yang sangat kukenal… Suara yang selalu menabuh genderang di dalam hatiku…

“H…haiiii Matthew….hehehehe….” Aku tertawa… mengapa aku tertawa… aku tidak perlu tertawa, aku perlu mengatakan sesuatu… jadi ayooo kumpulkan kata-kata yang tepat… katakan… lalu pulang…. Masih banyak orang yang harus aku ucapkan selamat tinggal…

“Kok… kamu ada di sini….? Pagi-pagi begini?” ada tanda tanya besar pada wajah Matthew…
“Hehehe… kamu juga… kok ada di sini…?” Aku mulai tidak waras, ditanya malah balas bertanya….

“Well…. Kita bisa saling bertanya sampai siang nanti… tapi kayaknya itu bukan tujuan kamu ke sini kan…?” Jawabnya sembari tersenyum lembut… Senyum itu lah yang tak akan pernah dapat kulupakan… Ke alam baka sekalipun, akan kubawa fotomu Mattheeeww….

“A…Aku tahu….eehmm Ini mungkin terdengar aneh…” Aku memberanikan diri… sudah saatnya aku berbuat sesuatu… atau lebih tepatnya tinggal ini saatnya jika aku ingin melakukan sesuatu. Besok aku pasti sudah berjumpa dengan Gaby lagi… di ruang tunggu Surga…

“Matthew, aku suka kamu… Aku tidak peduli betapa aneh ini menurut kamu, karena aku mungkin tidak punya waktu lagi untuk mengkhawatirkan apa yang akan kamu katakan tentang aku, jadi lebih baik aku mengatakannya, daripada tidak sama sekali… Aku tahu kita tidak terlalu mengenal… Kita hanya berjumpa beberapa kali, dan kita hanya berpapasan dalam kesempatan… Tapi perasaanku tidak dapat kuingkari, bahwa dalam saat-saat yang singkat itu pun, aku terpesona olehmu dan tidak dapat melupakan kamu…. Aku tahu, dan aku minta maaf, jika aku terlalu tergesa-gesa, tapi aku berharap kamu mau makan malam denganku….”

Matthew terdiam, ia tersenyum-senyum sendiri, sembari menggaruk-garuk kening. Aku tahu, ini terdengar seperti hal yang sangat bodoh… Mungkin ini hal terbodoh yang pernah diusulkan oleh seorang wanita kepada seorang pria. Dan ini semua berkat usulan bagus dari Gaby… hebat! Tunggu sampai aku bertemu dengannya lagi.. real soon, Gabe…. Real soon…

“A…Aku tahu… ini hal yang bodoh…. Ah… Aku minta maaf… Aku tidak akan mengatakannya lagi…. Aku hanya ingin menyampaikan apa yang ingin kukatakan sejak lama, dan kamu mau berdiri di sini mendengar semua perkataan aneh ini, itu pun sudah cukup bagiku. A… Aku sebaiknya pergi… t… terima kasih ya…. Sampai kita jumpa lagi…” Aku menundukkan kepala dan melangkah pergi.

“Hey, tunggu dong… “ Ia menggaet tanganku cepat, pandangannya tajam, seperti ditembak pistol kaliber 35 rasanya… “Ayo kita makan malam….” Ujarnya tersenyum yakin… “Atau lebih tepatnya, ayo kita makan pagi saja sekarang…” ajak Matthew dengan wajah yang sumringah… Ia menyentuh lembut wajahku, lalu menggandeng tanganku, membawaku berlarian menjauhi gedung dan aktivitas keseharian yang bernama ‘kantor’. Alkisah pada hari itu… kami menghabiskan waktu bersama dari pagi hingga siang, dari siang hingga malam… kami berbincang, bercanda, berdiskusi tentang masalah-masalah serius… Sedikit berargumen mengenai beberapa topik politik… lalu bercanda lagi hingga sepertinya semua lelucon telah kami candakan. Aku tak menyangka, ternyata ia benar-benar humoris… seperti dugaanku… tetapi sayang, aku mungkin hanya dapat mendengarkan lelucon-leluconnya yang menggelitik itu hari ini, dan hanya hari ini… karena tidak ada hari esok bagiku… Tapi aku bangga, aku bangga pada diriku sendiri, dan aku puas, semua yang perlu aku lakukan telah aku lakukan… Aku siap, kapan pun aku harus kembali duduk di sofa merah ruang tunggu Surga…

“Terima kasih ya…. Untuk hari ini…. Aku menikmatinya..… sangat… sudah lama aku tak merasakan kegembiraan yang seperti ini” Kata Matthew sembari mengecup keningku perlahan… Lalu memelukku… sepertinya ia adalah idola yang hebat, ia tahu bagaimana memperlakukan fans-fans beratnya dengan sopan. Aku tersenyum kepadanya untuk terakhir kali… lalu aku terhilang, dalam kegelapan malam…. Sepertinya aku pingsan…. Aku masih mendengar samar-samar Matthew memanggil-manggil namaku…………
…….
…….
…….

Aku mendengar lagi ada suara di kejauhan….
Perlahan-lahan aku membuka mata… Ruangan putih…. Ah aku pasti sudah kembali ke ruang tunggu Surga… Yah… baguslah… tak apa-apa… Toh, semuanya sudah aku lakukan…

“Nak…. Aduh… untung kamu sudah sadar… Matthew yang tadi malam membawa kamu kembali ke rumah sakit…. Kamu masih terlalu lemah…. Makanya kemarin kamu pingsan….” I…itu mama kan…. Sepertinya wajah dan suara itu memang mama…. Tapi…. Jadi…. Itu berarti aku tak meninggal?

“Ya ibu, anak ibu perlu istirahat total….” Kata seseorang yang aku juga tahu benar suaranya… Dia Gaby!

“G….Ga…” Aku selalu berusaha memanggil namanya, tapi aku tak bisa…

“Iya… ini Dr. Gabriel… beristirahatlah my dear… kamu tampak sangat lelah….” Dan lalu ia mendekati telingaku dan kembali berbisik… “Aku berbohong…” Whaattt? Hatiku melompat terkejut… “Aku tadi berbohong, kamu tidak akan meninggal dalam waktu dekat ini… Hidupmu masih panjang… Dan masih ada Matthew, yang menunggumu…” bisiknya sambil tertawa kecil…

“J… Jadi…” Aku bingung.

“Jadi, nikmati hidupmu…. I was just trying to make a point yesterday… Kalau kamu cuma punya waktu satu hari, kamu tentu akan memanfaatkan hari itu dengan sebaik-baiknya kan? Kamu akan katakan apa yang perlu kamu katakan, dan kamu akan lakukan apa yang perlu kamu lakukan. Jadi, mengapa tidak kamu anggap setiap hari adalah hari terakhirmu? Manfaatkan setiap detik sebaik-baiknya, lakukan yang terbaik dari setiap usahamu, dan yang terpenting, jangan pernah takut. Tuhan tidak pernah meninggalkan kamu, dan Dia sudah menyiapkan masa depan yang indah untukmu…. dan dia…” matanya melirik ke Matthew, sambil lalu tersenyum.

Matthew datang. Ia tergopoh-gopoh membawa beberapa keranjang buah-buahan dan makanan. Gaby mengedipkan sebelah matanya, memegang tanganku erat-erat… lalu ia pergi meninggalkan aku, dan aku berani bersumpah aku melihat dia menghilang dalam kilatan cahaya yang menyilaukan… Tapi aku tahu, tidak akan ada yang percaya, bahwa dia adalah malaikat, yang diutus Tuhan untuk membukakan mataku, agar aku berani menatap kehidupan. Berani mengatakan ya pada tantangan, dan berani mengambil resiko. Karena seperti halnya mata uang, di balik setiap kegagalan, pasti ada sejuta keberhasilan.

Matthew menghampiriku, duduk di dekatku dan kami pun berbincang-bincang lagi…. Sepertinya, masih akan banyak perbincangan yang akan aku lakukan bersamanya… Terima kasih Tuhan… Untuk kesempatan… kesempatan kedua. Dan… untuk sebuah ruang tunggu yang indah di Surga…

0 Response to "The Waiting Room."